Harga TBS Sawit Anjlok di Dumai, Petani Terpuruk

Sawit Anjlok Harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit di Dumai, Provinsi Riau, mengalami penurunan signifikan dalam beberapa pekan terakhir. Kejatuhan harga ini menimbulkan keresahan di kalangan petani sawit yang bergantung pada hasil perkebunan mereka sebagai sumber penghidupan utama. Penurunan harga yang tajam tidak hanya memengaruhi kesejahteraan petani, tetapi juga mengganggu stabilitas ekonomi di daerah yang sangat bergantung pada industri kelapa sawit.

Sejak awal tahun 2025, harga TBS sawit tercatat turun drastis hingga hanya mencapai Rp 1.000 per kilogram, jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga normal yang dapat mencapai Rp 2.500 hingga Rp 3.000 per kilogram. Kondisi ini membuat banyak petani kesulitan memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Penyebab Sawit Anjlok Harga TBS Sawit

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan harga TBS sawit di Dumai. Salah satunya adalah penurunan permintaan dari industri pengolahan minyak kelapa sawit (CPO), baik di pasar domestik maupun internasional. Selain itu, persaingan yang semakin ketat dengan negara produsen sawit lainnya, seperti Malaysia, turut memengaruhi harga di pasar global.

Cuaca ekstrem turut berperan dalam penurunan harga. Curah hujan yang tinggi dan kondisi cuaca buruk mengurangi kualitas buah sawit yang dihasilkan, yang berimbas pada proses pengolahan di pabrik kelapa sawit. Akibatnya, harga beli TBS sawit pun turun.

“Ini benar-benar membuat kami kesulitan. Kami sudah capek-capek merawat tanaman, eh, harga TBS jatuh begini. Padahal, biaya operasional dan kebutuhan sehari-hari terus berjalan,” ujar Rudi, seorang petani sawit di Dumai.

Dampak Bagi Petani dan Ekonomi Lokal

Penurunan harga TBS sawit sangat merugikan petani kecil di Dumai. Sebagian besar petani masih bergantung pada hasil penjualan TBS untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti biaya pendidikan anak dan kebutuhan rumah tangga. Banyak yang terjebak dalam hutang karena pendapatan mereka semakin menurun.

Beberapa petani mulai mengurangi jumlah pekerja kebun atau bahkan terpaksa menjual sebagian kebun mereka untuk bertahan hidup. Meski harga yang diperoleh sangat rendah, mereka tetap memutuskan untuk menjualnya demi memenuhi kebutuhan yang mendesak.